selamat datang

Sampaikan Walau Hanya Satu Ayat

Selasa, 26 November 2013

makalah ulumul hadis tentang istihsan

BAB I
PENDAHULUAN
            Latar belakang
             Sebagaimana kita ketahui, sumber ajaran islam yang pertama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit demi sedikit dimulai di Makkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika itu.
         Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
         Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian istihsan
Al-syatibi mengakui bahwa kaidah istihsan menurut imam malik berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil umum menghendaki di cengahnya bahaya itu.
Secara umum istihsan menurut bahasa “menganggap baik”. Abu hanafiah banyak mentapkan hukum dengan istilah tetapi tidak pernah menjelaskan bagian maksud dari istihsan itu. Ketika menatapkan sebuah hukum dengan cara istihsan Abu Hanifah mengatakan “astahsin” artinya saya menganggap baik.
Berikut dikemukakan beberapa definisi istihsan yang di kemukakan oleh ulama Maliki[1] :
ü  Menurut ibnu al-Arabi istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan ruksha karena berbeda hukumnyadalam beberapa hal.  Dalam kitab ahkam Al-qur’an ibnu al-Arabi menulis istihsan menurut golongan malikiyah dan hanafiyah adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat.
ü  Menurut Ibnu Rusyd istihsan berarti meninggalkan qiyas dalam menetapkan suatu hukum karena qiyas  itu menimbulkan keadaan yang berlebih-lebihan dalam hukum.  Pada beberapa masalah penetapan hukum tidak di lakukan dengan qiyas akan tetapi dialihkan karena pergantian yang mempengaruhi dalam penetapan hukum yang menghususkan masalah tersebut.

Berikut pengertian istihsan menurut golongan Hanafiyah :
ü  Menurut Al Karkhi istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah kepada hukum yang lain karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan
ü  Al Sarakhsi mengatakan istihsan pada hakekatnya dua macam qias pertama qias yang jelas (qias jalli) tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat lemah dan ia dinamakan qias. Kedua qias yang tersembunyi (qias Khafi) pengaruhnya kuat dan inilah yang dinamakan istihsan.
ü  Sebagian ulama Hanifa menjelaskan bahwa yang di maksud dengan istihsan adalah qias yang wajib beramal dengannya karena illatnya didasarkan pada pengaruhnya.
Sebagaimana kami uraikan pengertian istihsan menurut ulama Maliki dan Hanafi yang melakukan istimbat hukum dengan istihsan lebih di kenal pada dua mazhab ini. As Syafii sangat keras mengkritik istihsan sedangkan Mazhab Hambali tidak  berbicara pada istihsan dan mereka tidak melakukan istimbat hukum dengan istihsan dan juga tidak menolak istihsan yang di lakukan oleh kedua mazhab tersebut.
B.     Macam-macam istihsan
Ibnu Al-arabi membagi istihsan kepada empat macam (menurut ulama malikiyah)
a.      Istihsan dengan huruf ‘urf
Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada urf, ia menolak  sumpah karena urf, kalau seseorang bersumpahtidak akan memasuki rumah maka qias lafdzi menurut bahasa memasuki setiap tempat yang bernama rumah seperti masjid berarti melangggar sumpah. Akan tetapi imam Malik melakukan istihsan dengan mentaksiskandengan urfdan kebiasaan dengan praktek. Menurut Malik memasuki masjid tidaklah melangggar sumpah karena masjid tidak dinamakan rumah pada urf yang di bicarakan.
b.      Istihsan dengan maslahat
Adapun meninggalkan dalil umum karena maslahat dicontohkan dengan jaminan buruh yang bersarikat. Buruh yang bersarikat itu asalnya orang yang  terpercaya dan orang yang terpercaya tidak perlu di jamin kecuali karena telah tampak kekurangannya.

c.       Istihsan dengan ijma
Adapun meninggalkan kaidah umum atau dalil yang umum karena ijma di contohkan dengan kewajiban orang yang memotong ekor keledai tunggangan untuk membayar seluruh harga keledai tu. Hukum itu dianggap pengecualian dari kaidah umum menetapkan kewajiban membayar kerugian sebesar harga dari benda yang rusak akibat dari perbuatannya.

d.      Istihsan dengan raf al harj wa al masyaqat
Istihsan dengan raf al harj wa al masyaqat (menolak kesukaran dan kesulitan) merupakan kaidah yang kat’i dalam agama. Contohnya adalah meninggalkan kehendak dalil pada masalah kecil untuk menghilangkan kesukaran dan memberikan kelapangan kepada masyarakat.
Dari macam-macam istihsan diatas tampak bahwa maslah cabang pada akhirnya di kembalikan pada kaidah umum dan hukumnya dapat di tetapkan sesuai dengan hukum yang serupa dengannya. Akan tetapi karena mengembalikan pada kaidah umum bisa menagkibatkan maslahat yang mendukung nash syara’ dan melawan kaidah raf al harj wa al masyaqat atau berbeda dengan ijma dan urf, maka maslah cabang itu tidak di masukkan dalam dalil umum akan tetapi ditetapkan dengan hukum yang dapat mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kesukaran dengan urf dan ijma.
Istihsan menurut golongan malikiyah tidak keluar dari dalilsyarah melainkan beramal dengan dalil syarah itu sendiri dan meninggalkan dalil syarah yang lain dan dalil-dalil syarah sebagiannya menghusukan dalil yang lain seperti hubungan dalil sunah dan dalil alqur’an. Dengan demikian istihsan golongan Maliki bukanlah hanya sekedar istihsan seorang mujtahid dengan akalnya semata dan bukan dalil yang berasal dari mujtahid itu sendiri. Ulama Malikiyah tampaknya mengartikan istihsan imam Maliki dengan pengertian meninggalkan kehendak suatu dalil dengan dalil syara yang lain.
Berikut uraian tentang macam-macam istihsan dalam fiqhi hanafi
a.      Istihsan dengan nash
Istihsan dengan nas seperti berpalingnya mujtahid dari hukum yang di kehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang di kehendaki oleh nash. Karena memang ada masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang termasuk atau tercakup dalam salah satu kaidah dari kaidah umum (al-qawaid al-kuliyatt). Namun terhadap nash atau peristiwa itu ditemui dalil khusus yang menghendaki pengecualian terhadap maslah tersebut dan menetapkan hukum yang lain daripada hukum yang dapat ditarik dari kaidah umum.

b.      Dengan ijma
Istihsan dengan ijma berarti meninggalkan qiyass, baik qiyas asal (qiyas ushuli) maupun kaidah umum yang diistinbatkan apabila ijma menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas ini. Contoh istihsan dengan ijma adalah perjanjian untuk membuatkan suatu barang (istihsan bukan bai salam). Perjanjian itu tidak diperbolehkan menurut qiyas, demikian juga menurut kaida asal atau kaidah umum karena merupakan jual beli tanpa barang. Akan tetapi ijma umat dan urf kaum muslimin pada setiap masa membolehkannya.

c.       Istidan dengan qiyas khafi
Iatihsan dengan qiyas khafi dilakukan karena adanya pertentantangan antara dua qiyas, bila terjadi pertentangan maka yang di utamakan adalah qiyas mempunyai pengaruh lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis illat yang di tetapkan syara yang merupakan dasar qiyas. Apabila fuqaha menghadapi masalah yang dapat dikembalikannya kepada dua dasar itu maka mereka memilih qiyas yang mempunnyai pengaruh hukum yang kuat. Golongan hanafiyah mencontohkan dengan tidak najisnya sisa minman burung buas, qiyas menetapkan najis terhadapnya dan mengqiyaskannya kepada binatan buas dengan illat bahwa daging keduanya najis.

d.      Istihsan dengan darurat
Bila qiyas menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa, akan tetapi disana fuqaha menemukan darurat yang menghendaki di tetapkannya hukum lain yang  berbeda dengan hukum qiyas  maka penetapan hukum sepertti itu dinamakan istihsn dengan darurat. Golongan hanafiyah mengemukakan contoh istihsan macam ini dengan masalah membersihkan sumur, apabila jatuh suatu najis kedalam sumur iti tidak mungkinn di bersihkan, karena setiap air yang di tuangkan ke sumur untuk menyucinya akan menjadi najis dengan najis yang ada dalam sumur.

C.    Pendapat ulama tentang pemakaian istihsan
1.      Ulama hanafiah
Abu zahra berpendapat bahwa imam Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan dan mengakuinya. Menurut golongan hanafiyah, istihsan itu bisa dijadikan dalil syara’. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang di tetapkan oleh qiyas atau nas umum.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan hanafiyah mengemukakan alasan atau dalil dari Al-qur’an, Sunnah, ijma yang akan di paparkan sebagai berikut[2]
a.       Alqur’an Surat al-Zumar (39) ayat 18 dan 55
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ  
Artinya
yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù'tƒ Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur Ÿw šcrããèô±n@ ÇÎÎÈ   .
Atinya
dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
b.      Sunnah
م ر ا ه المسلمو ن حسنا فهو عند الله حسن  ( رواه احمد )
Artinya :
Apa yang di pandang baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik disisi Allah ( HR Ahmad dalam kitab sunnah, bukan dalam musnadnya).
Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik disisi allah. Dapat di jadikan landasan menetapkan hukum.
c.       Ijma
Ijma yang mereka jadikan alasan adalah ijma’ ulama terhadap masalah pemakaian kamar mandi umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang di gunakan.
2.      Ulama Malikiyah
Asy-syathibi berkata bahwa imam maliki berpendapat bahwa istihsan itu diangap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat hanafi diatas. Menurut ulama malikiyah, imam malik menganggap baik mentakhshishkan dalil umum dengan maslahat dan mereka menjelaskan bahwa istihsan adalah mengutamakan maslahat atas kias. Artinya bahwa maslahat yang mengutakan atas kias dan dalil hukum adalah maslahat yang sesuai dengan kehendak syara’ ( mashlahat mula’imat); tidak menghilangkan salah satu dasar dari dasar-dasar syara’.[3]
3.      Ulama Hanabilah
Imam al-Mudi ibn Hazib berkata, bahwa golongan hanabilah mengakui adanya istihsan. Akan tetapi, al-jalal al-Mahalli dalam kitab syarh al-Jam’ al-Jawami’ menagtakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu hanifah, Namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk didalamnya golongan hanabilah.[4]
4.      Ulama Syafiiyah
Secara masyhur golongan Syafi’iyah tidak mengikuti adanya istihsan, bahkan Al-syafi’i sangat keras menentang istihsan. Karena istihsan menurutnya, berarti mencari enaknya saja dan menetapkan hukum seacara sembarangan tanpa nas atau tanpa dasar yang bisa di pertanggagungkan kepada nas. Sebagaimana yang di katakan imam syafi’i “barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia tela membuat syari’at”.
Imam syafi’i membatalkan dalil istihsan. Dalam kitabnya Ar-risalah dan al-Umm, beliau mengemukakan alasan-alasan pembatalan tersebut dalam satu pasal tersendiri dengan judul “ibthalul iatihsan (pembatalan dalil istihsan) dan telah do ringkas ke dalam enam hal sebagai berikut[5].
a.       Syari’ah adalah Nash dan kandungan nash (acuan kepada nash) sedangkan istihsan ternyata bukan merupakan qiyas atau penerapan nash, karena Allah swt tidak mungkin meninggalkan meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya, sesuai dengan firman Allah Q.S Al-Qiyaamah : 36
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uŽøIム´ß ÇÌÏÈ  
Artinya :
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?
b.      Banyak ayat-ayat alqur’an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasulnya, melarang mengikuti hawa nafsu, dan memerintahkan kepada kita agar kemabli kepada kitabullah ketika terjadi pertentangan. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Nisa : 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Sementara istihsan tidak termasuk dan tidak pula merujuk pada alqur’an dan Sunnah, sehingga tidak bisa di terima sebagai sumber hukum.
c.       Nabi Muhammad SAW tidak pernah memberi fatwa dengan menggunakan istihsan dan tidak pula berpendapat berdasarkan hawa nafsunya. Oleh karena itu, kita wajib menghindarkan diri menggunakan istihsan tanpa adanya dalil nash. Andaikata ada seseorang yang berfatwa dengan kedalaman perasaan fiqh atau istihsan, maka pasti Nabi Muhammad SAW lah yang pertama melakukannya karena beliau sebagai panutan yang baik ( uswatun hasanah) bagi kita.
d.      Nabi Muhammad SAW tidak berkenan terhadap para sahabat yang pergi kedaerah lain dan memberi fatwa dengan istihsan.
e.       Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas, tidak pula memilikikriteria-kriteria yang bisa dijadikan standar untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, seperti halnya qiyas sehingga persoalan akan membias, karena dalam satu masalah baru yang muncul aakan mendapat jawban beragam sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan masing-masing mufti dalam menangkap dan menerapkan dall istihsan.
f.       Seandainya istihsan boleh di pakai oleh mujtahid, sementara ia tidak berpegang pada nash atau menagcu pada nash, akan tetapi berpegang pada kemampuan akal semata, niscaya istihsan boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah[6].







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istihsan adalah fikih malikiyah berarti beramal dengan dalil-dalil syara’ yang mu’tamad (disandarkan) kepada nash-nash syara’ dan bukan beramal dengan maslahat yang berdasarkan pemikiran akal mujtahid dan kecenderungan tabiatnya
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Secara istilah, mengeluarkann hukum suatu masalah dari hhukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid
Beberapa ulama berbeda pendapat terhadap penggunaan istihsan sebagai hujjah, diantaranya imam syafi’i, yang menolak menggunakan istihsan. Sedangkan imam hanafi, Maliki, dan Hambali menerima istihsan sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Ibnu Al-arabi membagi istihsan kepada emapat macam (menurut ulama Malikiyah):
a.       Istihsan dengan ‘urf
b.      Istihsan dengan maslahat
c.       Istihsan dengan ijma
d.      Istihsan dengan darurat









Daftar Pustaka
Dr.H.Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Rajawali pers, Padang. 2003.
Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid 2, kencana, jakarta, 2008,
Dr. Iskandar Usman. Istihsan dan pembaharuan hukum islam, PT Raja Grafiindo persada, jakarta


[1] Dr.H.Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Rajawali pers, Padang. 2003.Hal.234
[2] Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid 2, kencana, jakarta, 2008, Hlm.317
[3] Dr. Iskandar Usman. Istihsan dan pembaharuan hukum islam, PT Raja Grafiindo persada, jakarta. Hal. 41.
[4] Prof. DR. Rahmat Syafi’e,MA. Op.cit.Hal.112
[5] Prof. Muhammad  Abu Zahra. Op. Cit.Hal. 412.
[6] Ibid, Hlm.412