Rabu, 01 Januari 2014

sejarah biografi tuanku imam bonjol



BAB I
PENDAHULUAN
            LATAR BELAKANG

Sekilas tentang biografi Imam Bonjol, dengan nama asli dari Imam bonjol ini ialah Imam Shahab. Semasa remaja, ia biasa di panggil dengan sebutan Peto Syarif. Imam bonjol ini mendapat gelar Malim basa setelah menuntut ilmu tentang keagamaannya di Aceh dari tahun 1800 hingga tahun 1802. Setelah gelar yang ia dapat tersebut ia kemudian kembali ke Minang Kabau kemudian menuntut ilmu kepada gurunya ang bernama Tuanku nan renceh yang menjadikan ia sebagai murid kesayangannya tersebut.
Semasa berguru pada Tuanku Nan Renceh ini ia banyak mendapatkan pengajaran tentang ilmu perang dari gurunya tersebut. Pada tahun 1807 beliau mendirikan benteng yang terletak di kaki bukit Tajadi yang ia beri nama Imam Bonjol. Nah dari situlah ia di kenal dengan nama Imam Bonjol.
Dengan nama barunya ini, yaitu Tuanku Imam Bonjol ia disebut sebagai pahlawan dari tanah Minang Kabau Sumatera Selatan. Sebelum ia dikenal sebagai pahlawan dari perang Padri, ia merupakan seorang alim ulama yang dterpandang oleh masyarakat sekitar. Namun semenjak ia turu ke medan perang padri tersebut kemudian ia menjadi sosok pahlawan yang tidak bisa di lupakan oleh masyarakatnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat dan simak biografi Imam Bonjol pahlawan dari Minang Kabau tersebut














BAB II
PEMBAHASAN

            A.    IMAM  BONJOL

Pahlawan Nasional Dari Minangkabau - Nama tokoh yang satu ini mungkin tidak asing lagi bagi kita semua, apalagi bagi kita yang berasal dari Sumatera Barat (Minangkabau). Beliau merupakan salah satu dari pahlawan nasional Republik Indonesia dari tanah Sumatra. Kita semua mengenalnya dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Sejatinya sosok Imam Bonjol merupakan seorang ulama. Namun karena pada saat itu terjadi tindakan yang semena-mena dari Belanda membuat Tuanku Imam Bonjol berontak kepada pihak Belanda hingga terjadi perang antara rakyat minang yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda. Pepeperangan ini kita kenal dengan nama Perang Padri yang terjadi pada tahun 1803-1838.

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Nama dan gelar

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

                 B.     Riwayat perjuangan

Perang Padri

Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan Mazhab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah Arab (Arab Saudi sekarang). Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Belanda dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Padri. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Padri.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya "Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan, serta rincian laporan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

Penyerangan benteng kaum Paderi di Bonjol oleh Belanda dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.


Penangkapan dan Pengasingan
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Kaum Adat dan Kaum Padri Bersatu

Dalam peristiwa peristiwa yang melibatkan kaum adat dan kaum yang secara langsung di pimpin oleh Imam Bonjol itu sendiri. kaum adat disini ialah masyarakat Minang yang telah menyimpang dari ajaran  ajaran agama Islam. Perbuatan yang umumnya terjadi di sekitaran masyarakat kaum adat ini ialah minum-minuman keras, berjudi, dan mejadikan hewan sebagai objek untuk perjudian seperti sabung ayam dan sebagainya.

Sedangkan seperti yang sudah kita jelaskan di atas kaum Padri merupakan kaum atau golongan yang mentaati ajara-ajaran agama Islam dan berusaha memperbaiki akhlak dari kaum adat yaitu masyarakat Minang yang menyimpang dengan  ajaran agama Islam tersebut. Dengan kesadaran dari kedua belah pihak yang telah di manfaatkan oleh pihak Belanda ini, maka timbullah perdamaiana dari kaum adat dan kaum Padri ini untuk memperbaiki hubungan kesaudaraan yang telah pecah selama 18 tahun berperang tersebut.

Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk mengusir pasukan Belanda yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan Belnada pun akhirnya berhasil di kalahkan oleh kaum Padri.

              C.    Tuanku Imam Bonjol, Dikenang dan Digugat
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Tuanku Imam Bonjol (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.

Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. Tuanku Imam Bonjol dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang didaerah itu.

Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos kepahlawanan
Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini.

Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.

Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini — yang hidup dalam imajinasi globalisme — harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. la adalah unsur penting yang diadakan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga Tuanku Imam Bonjol, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.

Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bonjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan, yaitu:

ΓΌ  Menciptakan mitos tokoh pahlawan yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa Mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya “Merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan Tuanku Imam Bonjol dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.

Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Eropa. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.

       D.    Bukan manusia sempurna

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau, Mandailing (catatan: Mandailing adalah salah satu suku Minangkabau) dan Batak pada umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), se-buah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini - mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.

Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.

Dalam Memorie Tuanku Imam Bonjol, terefleksi rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kita?), tulis Tuanku Imam Bonjol dalam MemoireTuanku Imam Bonjol (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) — seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [AkhirPerang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183 - mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat Tuanku Imam Bonjol.

Pada hari-hari terakhirnya di Minangkabau, Tuanku Imam Bonjol diusung di atas tandu oleh rakyat dalam perjalanan dari Bukittinggi ke Padang menuju tanah pembuangan (Memoire Tuanku Imam Bonjol, hal 176-178). Meski sudah dalam tawanan Belanda, keyakinan agama Tuanku Imam Bonjol tak goyah: “Jikalau tidak boleh berhenti sembahyang, apa gunanya hidup, lebih baik mati,” katanya kepada tentara Belanda saat tandu sampai di Kayu Tanam (Memoire Tuanku Imam Bonjol hal 176).

Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah Tuanku Imam Bonjol akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.





BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
            Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol

Perang Padri ini muncul dengan adanya gerakan Kaum Padri atau bisa di sebut pula dengan Kaum Ulama yang menentang tentang perbuatan-perbuatan yang marak terjadi di kalangan masyarakat pada saat itu yang sangat tidak mencerminkan  masyarakat yang beragama di dalam kawasan kerajaan Paguyuban yang merupakan tempat Tuanku Imam Bonjol berasal. pihak kerajaan yang termasuk di dalamnya kaum adat meminta bantuan kepada Belanda untuk mengirimkan pasukan militer untuk membantu dalam peperangan antar saudara ini. Namun dengan bantuan yang di kirim Belanda ini, kaum adat dan kerajaan pun harus menelan kenyataan bahwa imbas dari bantuan yang di kirim Belanda tersebut adalah dengan menguasai sebagian wilayah dari kaum adat tersebut. 

Dengan kekuatan dan trik-trik yang di lancarkan oleh Kaum Padri yang di pimpin oleh Imam Bonjol ini, maka pihak Belanda yang di pimpin oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pun mengalami kekalahan. Selanjutnya pihak Belanda pun menawarkan suatu perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian Masang pada tahun 1824 yang di langgar sendiri oleh pihak Belanda tersebut.

Akhirnya Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk mengusir pasukan Belanda yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan Belnada pun akhirnya berhasil di kalahkan oleh kaum Padri.


Daftar Pustaka
 Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai Pustaka.
Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991), Wajah dan sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
Aboe Nain, , (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera, 1996
Hhtp://www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku (diakses pada 20 Desember  2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar