BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Sebagaimana kita ketahui, sumber ajaran islam yang pertama
adalah al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit demi sedikit dimulai
di Makkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan
persoalan-persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika itu.
Ternyata
tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat
diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan
pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan
para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang
al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala
sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh
hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang
belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan
demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama
mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode,
walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai
metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian istihsan
Al-syatibi mengakui bahwa kaidah istihsan menurut imam malik
berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syariat untuk mewujudkan
kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil
umum menghendaki di cengahnya bahaya itu.
Secara umum istihsan menurut bahasa “menganggap baik”. Abu hanafiah
banyak mentapkan hukum dengan istilah tetapi tidak pernah menjelaskan bagian
maksud dari istihsan itu. Ketika menatapkan sebuah hukum dengan cara istihsan
Abu Hanifah mengatakan “astahsin” artinya saya menganggap baik.
Berikut dikemukakan beberapa definisi istihsan yang di kemukakan
oleh ulama Maliki[1]
:
ü Menurut ibnu al-Arabi istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil
dengan cara pengecualian atau memberikan ruksha karena berbeda hukumnyadalam
beberapa hal. Dalam kitab ahkam
Al-qur’an ibnu al-Arabi menulis istihsan menurut golongan malikiyah dan
hanafiyah adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat.
ü Menurut Ibnu Rusyd istihsan berarti meninggalkan qiyas dalam
menetapkan suatu hukum karena qiyas itu
menimbulkan keadaan yang berlebih-lebihan dalam hukum. Pada beberapa masalah penetapan hukum tidak
di lakukan dengan qiyas akan tetapi dialihkan karena pergantian yang
mempengaruhi dalam penetapan hukum yang menghususkan masalah tersebut.
Berikut pengertian istihsan menurut golongan Hanafiyah :
ü Menurut Al Karkhi istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid
dari suatu hukum pada suatu masalah kepada hukum yang lain karena ada suatu
pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan
ü Al Sarakhsi mengatakan istihsan pada hakekatnya dua macam qias
pertama qias yang jelas (qias jalli) tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan
syariat lemah dan ia dinamakan qias. Kedua qias yang tersembunyi (qias Khafi)
pengaruhnya kuat dan inilah yang dinamakan istihsan.
ü Sebagian ulama Hanifa menjelaskan bahwa yang di maksud dengan
istihsan adalah qias yang wajib beramal dengannya karena illatnya didasarkan
pada pengaruhnya.
Sebagaimana kami uraikan pengertian istihsan menurut ulama Maliki
dan Hanafi yang melakukan istimbat hukum dengan istihsan lebih di kenal pada dua
mazhab ini. As Syafii sangat keras mengkritik istihsan sedangkan Mazhab Hambali
tidak berbicara pada istihsan dan mereka
tidak melakukan istimbat hukum dengan istihsan dan juga tidak menolak istihsan
yang di lakukan oleh kedua mazhab tersebut.
B.
Macam-macam istihsan
Ibnu Al-arabi membagi istihsan kepada empat macam (menurut ulama
malikiyah)
a.
Istihsan dengan huruf ‘urf
Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum
karena ada urf, ia menolak sumpah karena
urf, kalau seseorang bersumpahtidak akan memasuki rumah maka qias lafdzi
menurut bahasa memasuki setiap tempat yang bernama rumah seperti masjid berarti
melangggar sumpah. Akan tetapi imam Malik melakukan istihsan dengan
mentaksiskandengan urfdan kebiasaan dengan praktek. Menurut Malik memasuki
masjid tidaklah melangggar sumpah karena masjid tidak dinamakan rumah pada urf
yang di bicarakan.
b.
Istihsan dengan maslahat
Adapun meninggalkan dalil umum karena maslahat dicontohkan dengan
jaminan buruh yang bersarikat. Buruh yang bersarikat itu asalnya orang
yang terpercaya dan orang yang terpercaya
tidak perlu di jamin kecuali karena telah tampak kekurangannya.
c.
Istihsan dengan ijma
Adapun meninggalkan kaidah umum atau dalil yang umum karena ijma di
contohkan dengan kewajiban orang yang memotong ekor keledai tunggangan untuk
membayar seluruh harga keledai tu. Hukum itu dianggap pengecualian dari kaidah
umum menetapkan kewajiban membayar kerugian sebesar harga dari benda yang rusak
akibat dari perbuatannya.
d.
Istihsan dengan raf al harj wa al masyaqat
Istihsan dengan raf al harj wa al masyaqat (menolak kesukaran dan
kesulitan) merupakan kaidah yang kat’i dalam agama. Contohnya adalah
meninggalkan kehendak dalil pada masalah kecil untuk menghilangkan kesukaran
dan memberikan kelapangan kepada masyarakat.
Dari macam-macam istihsan diatas tampak bahwa maslah cabang pada
akhirnya di kembalikan pada kaidah umum dan hukumnya dapat di tetapkan sesuai
dengan hukum yang serupa dengannya. Akan tetapi karena mengembalikan pada
kaidah umum bisa menagkibatkan maslahat yang mendukung nash syara’ dan melawan
kaidah raf al harj wa al masyaqat atau berbeda dengan ijma dan urf, maka maslah
cabang itu tidak di masukkan dalam dalil umum akan tetapi ditetapkan dengan
hukum yang dapat mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kesukaran dengan urf dan
ijma.
Istihsan menurut golongan malikiyah tidak keluar dari dalilsyarah
melainkan beramal dengan dalil syarah itu sendiri dan meninggalkan dalil syarah
yang lain dan dalil-dalil syarah sebagiannya menghusukan dalil yang lain
seperti hubungan dalil sunah dan dalil alqur’an. Dengan demikian istihsan
golongan Maliki bukanlah hanya sekedar istihsan seorang mujtahid dengan akalnya
semata dan bukan dalil yang berasal dari mujtahid itu sendiri. Ulama Malikiyah
tampaknya mengartikan istihsan imam Maliki dengan pengertian meninggalkan
kehendak suatu dalil dengan dalil syara yang lain.
Berikut uraian tentang macam-macam istihsan dalam fiqhi hanafi
a.
Istihsan dengan nash
Istihsan dengan nas seperti berpalingnya mujtahid dari hukum yang
di kehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang di kehendaki oleh nash. Karena
memang ada masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang termasuk atau tercakup
dalam salah satu kaidah dari kaidah umum (al-qawaid al-kuliyatt). Namun
terhadap nash atau peristiwa itu ditemui dalil khusus yang menghendaki
pengecualian terhadap maslah tersebut dan menetapkan hukum yang lain daripada
hukum yang dapat ditarik dari kaidah umum.
b.
Dengan ijma
Istihsan dengan ijma berarti meninggalkan qiyass, baik qiyas asal
(qiyas ushuli) maupun kaidah umum yang diistinbatkan apabila ijma menetapkan
hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas ini. Contoh
istihsan dengan ijma adalah perjanjian untuk membuatkan suatu barang (istihsan
bukan bai salam). Perjanjian itu tidak diperbolehkan menurut qiyas, demikian
juga menurut kaida asal atau kaidah umum karena merupakan jual beli tanpa
barang. Akan tetapi ijma umat dan urf kaum muslimin pada setiap masa
membolehkannya.
c.
Istidan dengan qiyas khafi
Iatihsan dengan qiyas khafi dilakukan karena adanya pertentantangan
antara dua qiyas, bila terjadi pertentangan maka yang di utamakan adalah qiyas
mempunyai pengaruh lebih kuat dan lebih sesuai dengan jenis illat yang di
tetapkan syara yang merupakan dasar qiyas. Apabila fuqaha menghadapi masalah
yang dapat dikembalikannya kepada dua dasar itu maka mereka memilih qiyas yang
mempunnyai pengaruh hukum yang kuat. Golongan hanafiyah mencontohkan dengan
tidak najisnya sisa minman burung buas, qiyas menetapkan najis terhadapnya dan
mengqiyaskannya kepada binatan buas dengan illat bahwa daging keduanya najis.
d.
Istihsan dengan darurat
Bila qiyas menghendaki suatu hukum terhadap suatu peristiwa, akan
tetapi disana fuqaha menemukan darurat yang menghendaki di tetapkannya hukum
lain yang berbeda dengan hukum
qiyas maka penetapan hukum sepertti itu
dinamakan istihsn dengan darurat. Golongan hanafiyah mengemukakan contoh
istihsan macam ini dengan masalah membersihkan sumur, apabila jatuh suatu najis
kedalam sumur iti tidak mungkinn di bersihkan, karena setiap air yang di
tuangkan ke sumur untuk menyucinya akan menjadi najis dengan najis yang ada
dalam sumur.
C.
Pendapat ulama tentang pemakaian istihsan
1.
Ulama hanafiah
Abu zahra berpendapat bahwa imam Abu Hanifah banyak sekali
menggunakan istihsan dan mengakuinya. Menurut golongan hanafiyah, istihsan itu
bisa dijadikan dalil syara’. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda
dengan hukum yang di tetapkan oleh qiyas atau nas umum.
Untuk mendukung kehujjahan istihsan, golongan hanafiyah
mengemukakan alasan atau dalil dari Al-qur’an, Sunnah, ijma yang akan di
paparkan sebagai berikut[2]
a.
Alqur’an
Surat al-Zumar (39) ayat 18 dan 55
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur
öNèd
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÊÑÈ
Artinya
yang
mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka
Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal.
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ `ÏiB È@ö6s% br& ãNà6uÏ?ù't Ü>#xyèø9$# ZptGøót/ óOçFRr&ur w crããèô±n@ ÇÎÎÈ .
Atinya
dan ikutilah
Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
b. Sunnah
م ر ا ه المسلمو ن حسنا فهو عند الله
حسن ( رواه احمد )
Artinya :
Apa yang di
pandang baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik disisi Allah ( HR Ahmad
dalam kitab sunnah, bukan dalam musnadnya).
Hadis ini
menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik
oleh orang-orang islam karena merupakan sesuatu yang baik disisi allah. Dapat
di jadikan landasan menetapkan hukum.
c. Ijma
Ijma yang
mereka jadikan alasan adalah ijma’ ulama terhadap masalah pemakaian kamar mandi
umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang di gunakan.
2. Ulama
Malikiyah
Asy-syathibi
berkata bahwa imam maliki berpendapat bahwa istihsan itu diangap dalil yang
kuat dalam hukum sebagaimana pendapat hanafi diatas. Menurut ulama malikiyah,
imam malik menganggap baik mentakhshishkan dalil umum dengan maslahat dan
mereka menjelaskan bahwa istihsan adalah mengutamakan maslahat atas kias.
Artinya bahwa maslahat yang mengutakan atas kias dan dalil hukum adalah
maslahat yang sesuai dengan kehendak syara’ ( mashlahat mula’imat); tidak
menghilangkan salah satu dasar dari dasar-dasar syara’.[3]
3. Ulama
Hanabilah
Imam al-Mudi
ibn Hazib berkata, bahwa golongan hanabilah mengakui adanya istihsan. Akan
tetapi, al-jalal al-Mahalli dalam kitab syarh al-Jam’ al-Jawami’
menagtakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu hanifah, Namun ulama yang lain
mengingkarinya termasuk didalamnya golongan hanabilah.[4]
4. Ulama
Syafiiyah
Secara masyhur
golongan Syafi’iyah tidak mengikuti adanya istihsan, bahkan Al-syafi’i sangat
keras menentang istihsan. Karena istihsan menurutnya, berarti mencari enaknya
saja dan menetapkan hukum seacara sembarangan tanpa nas atau tanpa dasar yang
bisa di pertanggagungkan kepada nas. Sebagaimana yang di katakan imam syafi’i
“barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia tela membuat syari’at”.
Imam syafi’i
membatalkan dalil istihsan. Dalam kitabnya Ar-risalah dan al-Umm, beliau
mengemukakan alasan-alasan pembatalan tersebut dalam satu pasal tersendiri
dengan judul “ibthalul iatihsan” (pembatalan dalil istihsan) dan
telah do ringkas ke dalam enam hal sebagai berikut[5].
a. Syari’ah
adalah Nash dan kandungan nash (acuan kepada nash) sedangkan istihsan ternyata
bukan merupakan qiyas atau penerapan nash, karena Allah swt tidak mungkin
meninggalkan meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya, sesuai dengan
firman Allah Q.S Al-Qiyaamah : 36
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uøIã ´ß ÇÌÏÈ
Artinya :
Apakah manusia mengira, bahwa ia
akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?
b. Banyak
ayat-ayat alqur’an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasulnya,
melarang mengikuti hawa nafsu, dan memerintahkan kepada kita agar kemabli
kepada kitabullah ketika terjadi pertentangan. Seperti firman Allah dalam QS.
Al-Nisa : 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Sementara istihsan tidak termasuk
dan tidak pula merujuk pada alqur’an dan Sunnah, sehingga tidak bisa di terima
sebagai sumber hukum.
c. Nabi
Muhammad SAW tidak pernah memberi fatwa dengan menggunakan istihsan dan tidak
pula berpendapat berdasarkan hawa nafsunya. Oleh karena itu, kita wajib menghindarkan
diri menggunakan istihsan tanpa adanya dalil nash. Andaikata ada seseorang yang
berfatwa dengan kedalaman perasaan fiqh atau istihsan, maka pasti Nabi Muhammad
SAW lah yang pertama melakukannya karena beliau sebagai panutan yang baik (
uswatun hasanah) bagi kita.
d. Nabi
Muhammad SAW tidak berkenan terhadap para sahabat yang pergi kedaerah lain dan
memberi fatwa dengan istihsan.
e. Istihsan
tidak mempunyai batasan yang jelas, tidak pula memilikikriteria-kriteria yang
bisa dijadikan standar untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil,
seperti halnya qiyas sehingga persoalan akan membias, karena dalam satu masalah
baru yang muncul aakan mendapat jawban beragam sesuai dengan kecenderungan dan
kemampuan masing-masing mufti dalam menangkap dan menerapkan dall istihsan.
f. Seandainya
istihsan boleh di pakai oleh mujtahid, sementara ia tidak berpegang pada nash
atau menagcu pada nash, akan tetapi berpegang pada kemampuan akal semata,
niscaya istihsan boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan
tentang al-Qur’an dan sunnah[6].
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Istihsan adalah fikih malikiyah berarti beramal dengan dalil-dalil
syara’ yang mu’tamad (disandarkan) kepada nash-nash syara’ dan bukan beramal
dengan maslahat yang berdasarkan pemikiran akal mujtahid dan kecenderungan
tabiatnya
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan
(apapun yang baik dari sesuatu). Secara istilah, mengeluarkann hukum suatu
masalah dari hhukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain
karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid
Beberapa ulama berbeda pendapat terhadap penggunaan istihsan
sebagai hujjah, diantaranya imam syafi’i, yang menolak menggunakan istihsan.
Sedangkan imam hanafi, Maliki, dan Hambali menerima istihsan sebagai landasan
dalam menetapkan hukum.
Ibnu Al-arabi membagi istihsan kepada emapat macam (menurut ulama Malikiyah):
a.
Istihsan
dengan ‘urf
b.
Istihsan
dengan maslahat
c.
Istihsan
dengan ijma
d.
Istihsan
dengan darurat
Daftar Pustaka
Dr.H.Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Rajawali pers,
Padang. 2003.
Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid 2, kencana, jakarta,
2008,
Dr. Iskandar Usman. Istihsan dan pembaharuan hukum islam, PT
Raja Grafiindo persada, jakarta
[1] Dr.H.Nazar
Bakry, fiqh dan ushul fiqh, Rajawali pers, Padang. 2003.Hal.234
[2]
Prof.Dr.H.Amir
Syarifuddin, Ushul fiqh jilid 2, kencana, jakarta, 2008, Hlm.317
[3]
Dr. Iskandar
Usman. Istihsan dan pembaharuan hukum islam, PT Raja Grafiindo persada,
jakarta. Hal. 41.
[4]
Prof. DR.
Rahmat Syafi’e,MA. Op.cit.Hal.112
[5] Prof.
Muhammad Abu Zahra. Op. Cit.Hal. 412.
[6]
Ibid, Hlm.412